Rabu, 30 Januari 2013

AKU PENANYAMU YANG LANCANG


"Ya, memang harus aku!". Apa boleh buat? Kelemahanmu sudah mampu kuduga. Tanpa menganggapmu rendah, aku memahami itu.

Pada saat lonceng berdentang dua belas kali di malam tahun baru, yang menandai
peralihan dari bulan Desember ke bulan
Januari, kita mengucapkan selamat tinggal
kepada tahun yang silam dan menyambut
kedatangan tahun yang baru. Sungguh tepat bahwa bulan yang pertama ini disebut
Januari. Dewa bangsa Romawi, Janus, yang namanya digunakan untuk menamai bulan pertama ini, selalu ditampilkan berwajah dua; satu menghadap ke masa lalu dan satu lagi ke masa depan.
Apa engkau ingin menyerupai dia? Apa engkau harus terus bermanis didepanku?

Aku akan terus bertanya, sampai engkau mampu menjawab sendiri pertanyaanmu itu.

Padang kerapuhanmu akan terus coba kusiram, dengan air kehidupan yang akan terus kucoba sirami. Lancang memang, namun harus aku bisa-kan.

Aku, penanyamu yang baik.

Minggu, 27 Januari 2013

Dewi Efrosina Ada Didalammu

Untuk menulis balasan ini kunantikan pelangi bersinar terang menepi dikamarku. Sampai bulan datang kembali diatas perapian. Juga Bintang dan purnama menghias menghadapku.

Apa kau ingin teriak?
Sekedar melampiaskan kata indahmu untuk surat yang kubuat?
Di padang sunyi! ya itu tempat terbaik buatmu teriak. Aku bantu kau melampiaskannya (jika mau akan kuantar).

Semua Dewa dan Dewi punya makna dan tugas berbeda, Erl. Tapi tidak semua benar, aku pun harus membela wanita. Bangsa terdahulu memuji Dewi Efrosina, nama tercantik yg pernah ada. Dewi juga malaikat penjaga penyair. Sama, bahkan mungkin hampir sempurna ada dimatamu.

Diam-diam aku mencuri kesejukan angin senja pada pucuk cemara. Terkadang rindu bisa membuat surat ini tetap utuh, dan itu memungkinkan sekali.
Seperti angin yg slalu bertiup dimanapun ia berada. Seperti air yg mengaliri tiap celah tak terjamah. Seperti embun dari surga, turun dikala pagi mengelus indah.

Aku berusaha tuk jadi rumah ternyaman yang pernah kau singgahi, setidaknya setelah kau ambil mesin penenun itu.

Jumat, 25 Januari 2013

Tanya Jejak Rindu

Tak perlu berlebihan, apalagi harus membungkuk seperti itu, nona. 

Jejak rindu bisa menjadi jalan untuk menemukan dirimu dan merubahnya kedalam tulisan, walau terkadang ada batu yg menjadi sandungan. Tapi itulah artimu sebagai inspirasi tak terkendali. Sampai nantipun aku akan terus menjadi aku, yangg candu akan dirimu. 

Biarkanlah, mereka tak pernah tahu apa yang mereka katakan. Bersabarlah, tanpa harus berpaham yang buruk tentang mereka. Kalimatmu terlalu cepat kau matikan, Apa aku perlu mengajari bagaimana caranya bertuturkata yang baik dalam kehidupan nyata? Atau sekedar berbasa-basi untuk memulai sebuah percakapan yang hidup?. 

Seberbeda apakah engkau? Jika ada isi sebelum kata pengantar, itu bukan aku. Aku hanyalah kata pengantar yg baik. Tak perlu kau sungkan untuk berbicara, akan kucatat semua katamu lalu kutulis pada lembaran kertas ini, karna akan sangat berharga semua ucapanmu. 

Hanya akan menjadi sebuah ketidakmungkinan selama kita masih menunggu. Ijinkanlah aku untuk datang kewilayahmu, sedalam apapun itu, setinggi apapun itu. 

"Apa akan menjadi pergumulan batin untukku terus menantimu?" 
"Apa akan menyakiti banyak orang untukku terus mengharapmu?" 
"Apa akan menjadi pesan singkat untukku terus menanyakanmu?" 
"Apa akan menjadi sebuah mimpi untukku terus melibatkanmu?" 
"Apa akan menjadi sebuah tantangan untukku berjalan berdampingan denganmu?" 
"Apa akan menjadi pertanda buruk untukku terus berhasrat denganmu?" 
"Apa akan menjadi pelarian untukku terus bersamamu?" 
"Apa akan menjadi aku untuk terus bersamamu?" 
"Apa akan menjadi pecundang untukku terus mendengar namamu?" 
"Apa akan menjadi ratapan untukku terus mengenang dirimu?" 

Mampu kau jawab jika aku tak bertemu kamu, Erl? 

Kamis, 24 Januari 2013

Pecandu Aksaramu

Terima kasih banyak, kamu masih mengizinkan seorang asing sepertiku untuk tetap berkirim surat denganmu.
Aku memang orang asing, terlebih setiap kalimat-kalimatku, tak pernah kamu kenal sebelumnya. Tapi setelah kurang lebih sepuluh hari kita telah berkirim surat, mungkin ada sepatah atau duapatah kalimatku yang mulai kamu kenali? Semoga saja Erlin.

Entahlah, mungkin rindu telah bersekutu dengan waktu. Terlambat membalas suratmu saja sudah membuat aku gelisah yang benar-benar. Mungkin karena aku sudah mulai terbiasa dengan kiriman rangkaian aksara darimu yang membuat aku, Ah.. Candu.

Berapa persen nikotin yang ada dalam kalimatmu, Erlin?

Tahukah kamu? Aku belum terlalu pandai memilah kata. Tapi, aku banyak belajar darimu. Kamu adalah pasangan yang menginspirasi.
Seringkali fikiranku membatu, semacam budak yang memberontak majikannya. Aku tak tahu apa yang harus kutulis. hingga akhirnya aku membaca lagi surat-suratmu, seketika fikiranku bisa diajak bekerja sama. suratmu seperti mempunyai kekuatan magis, Erl! Maka tak heran orang-orang menyebutmu berbakat. Begitupun aku, kamulah kebanggaan yang lebih dari dekat.

Aku berharap semoga suatu hari nanti, kita akan pernah menulis diatas kertas yang sama. Bukan lagi tentang langit yang sama.

Salam rindu! dari Aku, pecandu kalimatmu.

Senin, 21 Januari 2013

Segeralah Sembuh, Erlin!


Hey, Erlin.
Segeralah membaik!
Berikan aku kalimat-kalimatmu yang seperti biasanya membuatku kagum.
Aku sudah kembali membaik saat menerima surat balasanmu, lebih baik lagi mungkin.

Aku harap kamu tak pernah bosan dengan datangnya surat-suratku.
Aku berdoa, berharap doaku merasuk kedalam kalimat ini, sampai kepadamu, terbaca, lalu kamu sembuh.

Segeralah membaik, wahai Erlin!

Minggu, 20 Januari 2013

Bisik Angin Malam

 Aku balas suratmu sepagi ini, dibalik pintu kamarku. Kebetulan, ia berlawanan dengan arah mata angin. Sembari kuputar lagu dari seorang legenda, Chrisye. "Angin Malam, semerbak wangi bunga...", mengikuti lagu sedikit.

Hujan? Hujan kadang keterlaluan El, dia tak paham dengan keadaanku. Kotaku, ibu kota kerajaan kita nanti sedang tenggelam, tapi tidak dengan pena dan kertasku.
Ini hanya semacam ilusi, sebelum aku jujur pada para peramal. Tentang rindu dan kehangatan yg tak lagi dapat terbayang. Aku berpura-pura menyembunyikannya, menghilangkan kecemasan tentang dirimu. Cemburu? Ya aku cemburu, tapi aku tak malu menuliskannya dalam hujan. Apa boleh buat, hatiku penuh karat.

aku mengirim pesan pada hujan, sama seperti kata dalam cinta, dan nada dalam drama. Jika kata mencakup semua, aku katakan iya. Jika matahari terbit dari barat, itulah kau.

Mungkin ini jawaban hujan dari ia yang kadang membuat gaduh, "kedamaianku tak lagi dapat kalian rasa". Tapi, didunia ini hanya ada 2 tempat paling hangat, aku dan selimut putihmu itu!

Maaf pabila tulisanku berujung luka, ini kubuat dibawah sinar yang tak terlalu kuat!. Sedikit gelap, menyeruak kedinding hatiku untuk membuat balasan surat.
Dikamar kesakitan ini aku berbaring, semoga hujan sampaikan padamu "Dia sakit, iba kah kau?"

Sampai jumpa kembali dibayangku yang begitu samar, tanpa hadirmu. Aku akhiri ini dari kiriman rindu yang slalu kudapat dari doa yang kau panjat. Aku percayakan kepada waktu untuk angkut semua rinduku yang akut.

Aku, rindumu.

Kamis, 17 Januari 2013

"LADANG KOSAKATA"




Tak terasa sudah hari kelima ya, Erlin?


Aku menulis surat balasanmu ini disaat warga Jakarta resah akan banjir yang sedang melanda. Ya akupun menetap di Jakarta, tapi aku tidak mendapat kiriman banjir. Kecuali, banjir akan kata dan kalimat-kalimat yang tidak akan mungkin cukup bila aku tulis dalam surat ini.

Aku selalu senang pada hari berhujan dibulan Januari. Karena apa? Rindu ini semacam terus mengalir menuju sungai sampai kelaut, dan panas bumi mengangkat uap air menuju awan dan mejatuhkan butir-butir hujan ke pori kulitmu, merangsak masuk rinduku, berdiam tepat dihatimu.

Kali ini, aku sudah melatih setiap kata-kata yang aku tulis agar mereka lebih siap berhadapan dengan tatapan matamu yang teduh itu. Kemarin-kemarin, kalimatku kembali kerumah dengan keadaan kuyup basah, lalu bercerita tentang tatapan yang membuat denyut disetiap kalimatku menjadi resah dan gelisah. Ah! Sungguh istimewa dan begitu indah.

                Erlin, entahlah aku ingin menulis kalimat apalagi untuk memuji  begitu eloknya kamu beserta aksara-aksara yang kamu tulis. Tapi aku berharap hujan terus menyirami ladang kosakataku, dan kita bisa menuainya bersama.

Tetaplah syahdu, wahai pasangan penaku :)

Selasa, 15 Januari 2013

"Surat Selagi Hujan"

Hey, Erlin.

Selamat datang kembali diduniaku yang penuh sesak oleh ribuan kata untukmu.

Aku membagi kisah pertamaku dari Kaisar Romawi yang kedua, ialah Numa Pompilius yang memutuskan untuk menambahkan dua bulan untuk mengisi dua bulan musim dingin yang tidak dihitung. Maka, muncullah bulan Januari dan Februari.
Ini Januari, tepat dimana kukirim surat kecil ini untukmu. Ditemani rintikan hujan, semilir angin, juga kicauan burung hantu dipohon tua itu.

Hujan selalu menghadirkan kenangan itu, apalagi malam ini, ah!. Sebentar kupasang potretmu dilayar ingatanku. Sebentar aku hapus dari bayangku, karna aku tahu kita kan bertemu dalam waktu yang lama.

Ini pesan keduaku, baca dengan baik. Jangan kau balas jika tak ingin memulai kembali, aku harap iya. Egoisku memuncak saat seperti ini, aku muak pada rindu yang tak kunjung padam!.

Jika esok datang, aku masih berharap menjadi kisah yang lebih panjang untuk kau sambungi.
Ya, seperti huruf bersambung ini, kalau bukan kau yang mengajari, tak'kan kumulai semua ini.
Mungkin akan ku simpan dijendela, sampai hujan yang jatuhkan itu ketanah. Lalu basah, terinjak dan mungkin dimakan hewan kecil yang mencoba menyambung hidup.

Aku lupa meminta ijin pada Tuhan untuk mencintaimu, juga berkirim surat seperti ini.
Semoga tak melukai mahluk terindah yang Kau ciptakan ini.

Pada akhirnya, baris juga pena habis kupakai sampai ujung tintanya.
Sebelum tak nyata kau baca, ini pesanku untukmu.

Biar Tuhan jaga bidadari tanpa sayap yang sengaja dijatuhkan kebumi antah berantah ini. Untuk menemukan cinta dan ksatria tanpa pedang ditangan yang hanya mampu berujar lewat kata kotor ini.

Salam hangat di Januari dingin ini.

Minggu, 13 Januari 2013

"Saling Menemukan"

Monday, 14 Januari 2013.

Day 1: "Saling Menemukan"

Dear, Erlin.
Ini surat pertama untukmu. Kutulis dengan perasaan bangga. Entah kenapa, mungkin karena kamu pantas menerimanya.
Senang menulis namamu dalam surat ini. Biasanya namamu kutulis pada bulir air, yang ada dijendela saat hujan. Indah bukan? Namun sayang, seketika saja mudah menguap hilang.
Lalu aku coba melukis namamu dalam malam, ah! Dia juga mudah hilang dimakan kelam.
Maka aku coba menulis namamu pada rangkaian paragraf ini, berharap tidak akan terhapus suatu nanti.
Aku senang kita dipertemukan oleh kata-kata, terlebih dalam kata cinta. Jemari inipun  mulai menari karena telah menemukan pasangan untuk saling berbagi hati.
Tahukah kamu, sebelum ada kamu. Aku seperti alinea tanpa abjad kapital diawalnya. terkatung-katung hurufku tanpa arah. Ah!
Lalu, kamu hadir menyempurnakan paragrafku, hadir diantara jarak kalimatku, dan titik disetiap hurufku.
Jika aku bisa terbang, mungkin aku sudah terbang menujumu. Tapi aku hanya bisa menulis, menulis tulisan yang bisa membuatmu terbang.
Ya, Erlin. Terbanglah setinggi-tingginya, maka pelukanku adalah tempat pendaratanmu yang seindah-indahnya.