"Ya, memang harus aku!". Apa boleh buat? Kelemahanmu sudah mampu kuduga. Tanpa menganggapmu rendah, aku memahami itu.
Pada saat lonceng berdentang dua belas kali di malam tahun baru, yang menandai
peralihan dari bulan Desember ke bulan
Januari, kita mengucapkan selamat tinggal
kepada tahun yang silam dan menyambut
kedatangan tahun yang baru. Sungguh tepat bahwa bulan yang pertama ini disebut
Januari. Dewa bangsa Romawi, Janus, yang namanya digunakan untuk menamai bulan pertama ini, selalu ditampilkan berwajah dua; satu menghadap ke masa lalu dan satu lagi ke masa depan.
Apa engkau ingin menyerupai dia? Apa engkau harus terus bermanis didepanku?
Aku akan terus bertanya, sampai engkau mampu menjawab sendiri pertanyaanmu itu.
Padang kerapuhanmu akan terus coba kusiram, dengan air kehidupan yang akan terus kucoba sirami. Lancang memang, namun harus aku bisa-kan.
Aku, penanyamu yang baik.
Pada saat lonceng berdentang dua belas kali di malam tahun baru, yang menandai
peralihan dari bulan Desember ke bulan
Januari, kita mengucapkan selamat tinggal
kepada tahun yang silam dan menyambut
kedatangan tahun yang baru. Sungguh tepat bahwa bulan yang pertama ini disebut
Januari. Dewa bangsa Romawi, Janus, yang namanya digunakan untuk menamai bulan pertama ini, selalu ditampilkan berwajah dua; satu menghadap ke masa lalu dan satu lagi ke masa depan.
Apa engkau ingin menyerupai dia? Apa engkau harus terus bermanis didepanku?
Aku akan terus bertanya, sampai engkau mampu menjawab sendiri pertanyaanmu itu.
Padang kerapuhanmu akan terus coba kusiram, dengan air kehidupan yang akan terus kucoba sirami. Lancang memang, namun harus aku bisa-kan.
Aku, penanyamu yang baik.