Aku balas suratmu sepagi ini, dibalik pintu kamarku. Kebetulan, ia
berlawanan dengan arah mata angin. Sembari kuputar lagu dari seorang
legenda, Chrisye. "Angin Malam, semerbak wangi bunga...", mengikuti lagu
sedikit.
Hujan? Hujan kadang keterlaluan El, dia tak paham dengan keadaanku.
Kotaku, ibu kota kerajaan kita nanti sedang tenggelam, tapi tidak dengan
pena dan kertasku.
Ini hanya semacam ilusi, sebelum aku jujur pada para peramal.
Tentang rindu dan kehangatan yg tak lagi dapat terbayang. Aku
berpura-pura menyembunyikannya, menghilangkan kecemasan tentang dirimu.
Cemburu? Ya aku cemburu, tapi aku tak malu menuliskannya dalam hujan.
Apa boleh buat, hatiku penuh karat.
aku mengirim pesan pada hujan, sama seperti kata dalam cinta, dan
nada dalam drama. Jika kata mencakup semua, aku katakan iya. Jika
matahari terbit dari barat, itulah kau.
Mungkin ini jawaban hujan dari ia yang kadang membuat gaduh,
"kedamaianku tak lagi dapat kalian rasa". Tapi, didunia ini hanya ada 2
tempat paling hangat, aku dan selimut putihmu itu!
Maaf pabila tulisanku berujung luka, ini kubuat dibawah sinar yang
tak terlalu kuat!. Sedikit gelap, menyeruak kedinding hatiku untuk
membuat balasan surat.
Dikamar kesakitan ini aku berbaring, semoga hujan sampaikan padamu "Dia sakit, iba kah kau?"
Sampai jumpa kembali dibayangku yang begitu samar, tanpa hadirmu.
Aku akhiri ini dari kiriman rindu yang slalu kudapat dari doa yang kau
panjat. Aku percayakan kepada waktu untuk angkut semua rinduku yang
akut.
Aku, rindumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar